Sunday, May 1, 2016

Tak Berarti

Ketika aku berjalan, sepertinya aku harus lebih berhati-hati agar tidak jatuh. Langkah kakiku seharusnya lebih cekatan menghindari lubang yang ada. Tapi kenyataannya? Jalan lurusku akhirnya terhenti karena lubang. Setiap orang pasti pernah jatuh dalam kesalahan, begitupun denganku. Jatuhku pada lubang itu bukan karena ku sengaja. Aku tau aku ceroboh. Aku tau aku bodoh. Aku tau aku tidak berpikir panjang. Aku tau aku tidak berhati-hati. Tapi akankah luka karena jatuhku ini kamu bantu? Sakitku sekarang mungkin tak berarti bagimu, tapi tolong tengok sedikit ke belakang sini. Ya, aku di belakangmu, di belakang jalan lurusmu juga, di belakang yang sudah kamu lalui tanpa terjatuh karena lubang. Akankah kamu menoleh ke belakang dan mulai mengerti? Akankah kamu berjalan ke arahku? Akankah kamu jadi seseorang yang mengangkatku dan mengobati sakitku? Yang kulihat, kamu sedang berada pada jalanmu tadi bersama dia. Dia yang sepertinya telah menyebabkanku jatuh. Dia yang acuh padaku. Dia yang sebenarnya tak peduli padaku. Dia hanya peduli padaku ketika dia sedang bersamamu. Dia mengatakan berbagai macam hal yang membuatnya menjadi indah di matamu. 

Jalanku sudah salah. Sedangkan kamu mulai melangkah pergi meningkalkan sakitku dan berjalan pada jalanmu yang sekarang. Adakah kau pedulikan aku sedikit saja? Hatiku sakit, dadaku sesak, nafasku terengah-engah, air mataku jatuh. Semakin deras. Kini, air mataku sering jatuh tanpa sebab. Pikiranku kacau. Rumit. Lagi-lagi menangis. Tapi aku berani pastikan kalau ini bukan senjata perempuan seperti yang banyak lelaki katakan. Kalau hati dan pikiranku sudah tidak sinkron, lalu sepertinya tak ada yang membantuku, salahkah bila aku tiba-tiba jadi perempuan yang cengeng? Akupun sebenarnya tak ingin begini. Tapi rasanya begitu sakit. Sekalipun ku pejamkan mata berniat menenangkan hati, pikiranku malah semakin lari-lari tak karuan. Ku tarik nafasku dalam-dalam, sejenak ku pikirkan semuanya. Makin rumit, makin acak-acakan, makin tak berujung. 

Mereka sudah berjalan duluan dengan banyak orang lainnya tanpa memperdulikan jatuhnya aku. Apakah kamu juga seperti itu? Akankah kamu menolongku? Akankah kamu peduli padaku? Akankah kamu mengangkatku  dari jatuhku? Akankah kamu mengobati lukaku? Atau justru akankah kamu meninggalkanku? Salah jalanku butuh arah panah penunjuk jalan yang benar. Jangan benci aku, jangan tinggalkan aku dan berjalan dengannya yang tak peduli. Sekalipun kamu pergi meninggalkanku, tolong, semoga bukan dia yang jadi penuntunmu nanti. Yang jelas, sepertinya aku sudah muak dengannya. 

Semuanya semakin aneh. Keadaan yang tadinya baik-baik saja, manis manis saja, tiba-tiba jadi terasa pahit. Akankah kamu....(?) Ahh sudahlah, percuma kutanyakan "akankah kamu blablabla," melihatmu seperti ini saja sepertinya aku mulai paham. Harapanku tinggallah sendiri. Asa-ku bukan asa-mu. Terimakasih untuk semua kepahitan yang kalian berikan. Terlebih untuk dia yang merampas segalanya dariku. Selamat ya. Sekarang jauhkupun sudah tak berarti. Aku hanya dapat menatap kalian darisini, tatapan kosong dan pikiran kemana-mana, yang disusul dengan mata berkaca-kaca. Berbahagialah kalian.