Lagi
– lagi hujan. Hujan… Ya… Rintik air dari langit itu sepertinya banyak disukai
orang. Tetes – tetes air dari awan itu ternyata menjadi hal yang di rindukan.
Yang sering dibilang “tangisan langit” itu juga membuat banyak orang mengingat
memori masa lalu. Ada yang berbeda ketika hujan turun. Entah. Menghirup udara
ketika hujan membahasi bumi itu menciptakan sebuah rasa.
Cuaca
mendung. Langit yang tadinya terlihat cerah dengan awan yang bercahaya karena
menutupi mataharipun berubah menjadi gelap. Ia berada sendirian disana. Termenung.
Mengenang. Mengingat sesuatu yang dulu pernah dilalui. Tak lama ketika ia
merenung, hujanpun turun. Hmmm bukan, bukan “ia,” tetapi “aku” saja (karena
disini, aku belum tentu aku). Ku pejamkan mata, merasakan kesendirian yang
aneh. Ya, aneh, sendiriku saat ditemani hujan ini membuat hatiku seakan tenang.
Ku rasakan detak jantung yang berdegup, nafasku menghirup aroma hujan yang kata
orang dapat menyejukkan hati. Aku merasakannya. Damai. Rintik – rintik yang
berisik ini justru membuatku merasa damai. Aneh bukan?
Hujan…
Ketika aku hendak pergi mencarimu, aku berharap kau meneteskan air secara
perlahan dan dapat membuatku nyaman. Membuat aku terpejam merasakan setiap tetes
air yang turun dari langit. Menghirup udara dalam – dalam. Kemudian aku putar
memoriku ke dalam masa itu. Ingatanku pergi ke masa saat aku melihat tatapan
itu. Tatapan dingin dan tak berarti. Tatapan asing dan aneh. Rasakanlah, hujan,
Aku pergi ke masa ketika aku dan ia bertemu. Ketika ia tak mengenalku, pula aku tak
mengenalnya. Ia menatapku tajam dibalik sapu tangan itu. Aku berpapasan
dengannya, ia menoleh sambil menatap tepat di sampingku. Tak lama kemudian, ia
langsung berjalan pergi entah kemana. Aku
tak menghiraukannya.
Selang
waktu berlalu, aku mengenal siapa dibalik tatapan itu. Tatapan itupun sudah tak
asing lagi. Tatapan dingin itu menghilang berubah menjadi tatapan yang
kurindukan. Tatapan dengan mata yang indah. Pemilik tatapan itu membuatku penasaran.
Aku
bertemu dengannya. Ia menatapku lagi. Tapi kali ini bukan dengan tatapan dingin
dan tak berarti. Ia menatapku sambil tersenyum manis. Membuatku termangu
melihatnya. Aku seakan tak percaya dapat betul mengenalnya sampai sejauh ini. Arghhh…
Rasa aneh ini muncul. Jantungku berdegup kencang saat ia menatapku seperti itu.
Apakah aku jatuh cinta pada pemilik tatapan itu? Kenapa hati ini justru
menjatuhkan rasa pada pria pemilik tatapan indah dan senyum manis itu? Padahal
aku baru mengenalnya. Tapi sudahlah, biarkan hati dan pikiran ini terus
berjalan mengikuti arus dengan didampingi olehnya.
Ku
buka mataku, sejenak meleyapkan ingatanku itu. ku tatap langit yang masih gelap
dan rintik – rintik hujan yang semakin deras. Kembali menghirup udara dalam –
dalam. Ahhh, ternyata aku tak dapat menghidar. Hujan ini membuatku kembali lagi
pada memori disaat aku mengetahui sesuatu tentang pemilik tatapan indah itu.
Aku menarik nafas panjang sambil menghirup kesejukan yang diciptakan oleh
hujan. Menghempaskan nafasku cepat dan mengingat ketika aku tahu bahwa ia
ternyata ada yang telah lebih awal menjadi seseorang yang berarti bagi si pria
manis itu. Ku pejamkan mata lagi, ku kenang kembali ketika pemilik tatapan itu
masih saja menjadi seseorang yang berarti bagi hati ini. Namun hati inipun
bertanya – tanya. “Hey, jangan menatapku seperti itu, Jangan biarkan aku hanyut
ke dalam indahnya tatapan dan manisnya senyummu itu. Kenapa kamu masih
membuatku nyaman sedangkan ada yang sudah kau buat nyaman sebelumnya? Kamu sudah
punya dia yang ternyata merasakan nyaman terlebih dulu sebelumku.”
Aku
tersadar dari pejamanku. Mataku menatap langit penuh harap. Hujan… bawa pergi
pemilik tatapan itu. Hilangkan perasaan aneh yang muncul di hati ini. Aku hanya
tak ingin hati ini yang justru kau hujani karena menyakiti ia yang telah nyaman
terleih dahulu dengan pria manis itu. Jangan biarkan ia menatapku lagi dengan
pandangan yang dapat membuatu seakan terhipnotis. Jika sekalipun aku
terhipnotis olehnya, cepatlah sadarkanku. Sulaplah aku agar dapat membiarkan
tatapan itu lenyap dari pikiran ini. Jadikan aku pengiring roda yang berputar
seperti biasanya. Aku hanya manusia pengiring roda berputar yang biasa, hujan.
Aku tak ingin meemberantakkan kisah pengiring roda yang berputar lainnya. Aku,
ia, dan …. Harus berjalan mengiringi roda berputar ini dengan baik.
Kemudian,
lagi – lagi ku tarik nafas dalam-dalam. Berharap memori masa itu menghilang
bersama hujan yang juga perlahan menghentikan tetesan air deras dari langit.
Selamat
tinggal, tatapan asing dan tak berarti…