Sunday, November 8, 2015

Biarkan Ia Menghilang Bersamamu, Hujan

Lagi – lagi hujan. Hujan… Ya… Rintik air dari langit itu sepertinya banyak disukai orang. Tetes – tetes air dari awan itu ternyata menjadi hal yang di rindukan. Yang sering dibilang “tangisan langit” itu juga membuat banyak orang mengingat memori masa lalu. Ada yang berbeda ketika hujan turun. Entah. Menghirup udara ketika hujan membahasi bumi itu menciptakan sebuah rasa.

Cuaca mendung. Langit yang tadinya terlihat cerah dengan awan yang bercahaya karena menutupi mataharipun berubah menjadi  gelap. Ia berada sendirian disana. Termenung. Mengenang. Mengingat sesuatu yang dulu pernah dilalui. Tak lama ketika ia merenung, hujanpun turun. Hmmm bukan, bukan “ia,” tetapi “aku” saja (karena disini, aku belum tentu aku). Ku pejamkan mata, merasakan kesendirian yang aneh. Ya, aneh, sendiriku saat ditemani hujan ini membuat hatiku seakan tenang. Ku rasakan detak jantung yang berdegup, nafasku menghirup aroma hujan yang kata orang dapat menyejukkan hati. Aku merasakannya. Damai. Rintik – rintik yang berisik ini justru membuatku merasa damai. Aneh bukan?

Hujan… Ketika aku hendak pergi mencarimu, aku berharap kau meneteskan air secara perlahan dan  dapat membuatku nyaman.  Membuat aku terpejam merasakan setiap tetes air yang turun dari langit. Menghirup udara dalam – dalam. Kemudian aku putar memoriku ke dalam masa itu. Ingatanku pergi ke masa saat aku melihat tatapan itu. Tatapan dingin dan tak berarti. Tatapan asing dan aneh. Rasakanlah, hujan, Aku pergi ke masa ketika aku dan ia bertemu.  Ketika ia tak mengenalku, pula aku tak mengenalnya. Ia menatapku tajam dibalik sapu tangan itu. Aku berpapasan dengannya, ia menoleh sambil menatap tepat di sampingku. Tak lama kemudian, ia langsung berjalan pergi entah kemana.  Aku tak menghiraukannya.
Selang waktu berlalu, aku mengenal siapa dibalik tatapan itu. Tatapan itupun sudah tak asing lagi. Tatapan dingin itu menghilang berubah menjadi tatapan yang kurindukan. Tatapan dengan mata yang indah. Pemilik tatapan itu membuatku penasaran.
Aku bertemu dengannya. Ia menatapku lagi. Tapi kali ini bukan dengan tatapan dingin dan tak berarti. Ia menatapku sambil tersenyum manis. Membuatku termangu melihatnya. Aku seakan tak percaya dapat betul mengenalnya sampai sejauh ini. Arghhh… Rasa aneh ini muncul. Jantungku berdegup kencang saat ia menatapku seperti itu. Apakah aku jatuh cinta pada pemilik tatapan itu? Kenapa hati ini justru menjatuhkan rasa pada pria pemilik tatapan indah dan senyum manis itu? Padahal aku baru mengenalnya. Tapi sudahlah, biarkan hati dan pikiran ini terus berjalan mengikuti arus dengan didampingi olehnya.
Ku buka mataku, sejenak meleyapkan ingatanku itu. ku tatap langit yang masih gelap dan rintik – rintik hujan yang semakin deras. Kembali menghirup udara dalam – dalam. Ahhh, ternyata aku tak dapat menghidar. Hujan ini membuatku kembali lagi pada memori disaat aku mengetahui sesuatu tentang pemilik tatapan indah itu. Aku menarik nafas panjang sambil menghirup kesejukan yang diciptakan oleh hujan. Menghempaskan nafasku cepat dan mengingat ketika aku tahu bahwa ia ternyata ada yang telah lebih awal menjadi seseorang yang berarti bagi si pria manis itu. Ku pejamkan mata lagi, ku kenang kembali ketika pemilik tatapan itu masih saja menjadi seseorang yang berarti bagi hati ini. Namun hati inipun bertanya – tanya. “Hey, jangan menatapku seperti itu, Jangan biarkan aku hanyut ke dalam indahnya tatapan dan manisnya senyummu itu. Kenapa kamu masih membuatku nyaman sedangkan ada yang sudah kau buat nyaman sebelumnya? Kamu sudah punya dia yang ternyata merasakan nyaman terlebih dulu sebelumku.”

Aku tersadar dari pejamanku. Mataku menatap langit penuh harap. Hujan… bawa pergi pemilik tatapan itu. Hilangkan perasaan aneh yang muncul di hati ini. Aku hanya tak ingin hati ini yang justru kau hujani karena menyakiti ia yang telah nyaman terleih dahulu dengan pria manis itu. Jangan biarkan ia menatapku lagi dengan pandangan yang dapat membuatu seakan terhipnotis. Jika sekalipun aku terhipnotis olehnya, cepatlah sadarkanku. Sulaplah aku agar dapat membiarkan tatapan itu lenyap dari pikiran ini. Jadikan aku pengiring roda yang berputar seperti biasanya. Aku hanya manusia pengiring roda berputar yang biasa, hujan. Aku tak ingin meemberantakkan kisah pengiring roda yang berputar lainnya. Aku, ia, dan …. Harus berjalan mengiringi roda berputar ini dengan baik.

Kemudian, lagi – lagi ku tarik nafas dalam-dalam. Berharap memori masa itu menghilang bersama hujan yang juga perlahan menghentikan tetesan air deras dari langit.

Selamat tinggal, tatapan asing dan tak berarti… 

No comments:

Post a Comment