Wednesday, April 27, 2016

Depanku Bukan Belakangku

Aku mengiringi roda besar yang berputar. Kadang aku jadi pengiring yang berada di atas roda, tapi kadang aku berada di roda bawah. Memang mengiringi bumi yang ku analogikan sebagai roda besar berputar tidak mungkin menyebabkan seseorang terlindas ketika mengiringinya pada bagian bawah. Tapi rasanya, aku yang sedang mengitari bagian bawah ini justru hampir terlindas parah seperti mereka yang badannya hancur disebabkan kecelakaan karena terlindas truk besar. Bukan, bukan, aku bukan berkata seenak jidat membicarakan terlindas karena kecelakaan. Namun, yang kurasakan yaa ini, aku yang menjadi pengiring roda berputar, sedang berada diputaran bawah, dan merasa seperti nyaris terlindas roda berputar secara keras. Entah, aneh memang. Yang aku rasakan adalah mengiringi roda itu sendirian. Saat aku di bawah dan merasa nyaris terlindas, tidak ada yang berusaha menolongku dan menarik tubuhku ini. Sepertinya memang tidak ada yang peduli. Bohong saja mereka yang bilang "bukannya tak mau menolong, aku sedang mencari solusi agar nantinya kita semua selamat." HALAHHHH!!! PERSETAN! Aku tau bawahku memang bukan bawahmu, sulitku memang bukan sulitmu, raguku memang bukan ragumu, bisuku memang bukan bisumu, sedihku apalagi, yang jelas pasti bukan sedihmu juga. Tapi mbok yaa mikir, tidak akan ada yang baik-baik saja ketika seseorang diam saja, ketika ia tidak tersenyum dan tertawa lepas seperti biasanya. Aku sama sekali tak butuh uluran tangan terpaksamu. Mata tidak akan pernah bisa berbohong. Tidak akan ada mata (pura-pura) sedih yang dapat benar-benar menolong mata yang sudah berkaca-kaca dan hampir meneteskan air mata. Sekarang aku hanya sudah mengerti, bahwa kamu tak sesungguhnya berada disampingku selama ini, kamu hanya terasa dekat ketika aku sedang berputar mengiringi roda atas. Aku paham bahwa kamu tak ingin menyelami pahitnya berada di putaran bawah. Berbahagialah kamu :)

Berarti sekarang, aku hanya perlu berputar ke bagianku seperti semula lagi kan? Sendirian, tanpa kamu, tanpa kalian. Diamku tak dapat merekam jelas keberadaanku di depan kalian. Diamku tak akan kalian artikan dengan mudah. Diamku tak akan pernah kalian tau alasannya. Aku sudah terbiasa sendirian, jadi aku pikir, untuk apa aku membagi alasan diamku pada kalian, toh kalian bahagia - bahagia saja seperti ini. Kalau dikaitkan dengan teori penetrasi sosial yang menggambarkan hubungan seseorang dari tidak intim menjadi intim, dan diibaratkan sebagai bawang yang memiliki banyak lapisan, kamu hanya tau lapisan terluarku. Aku tidak mencoba mengizinkanmu berada di lapisan-lapisan berikutnya, karena aku sudah tau, aku sudah memprediksi bahwa kamu sepertinya tidak cocok aku anggap seperti sahabat baik. Hubungan kita tidak akan meningkat, akan tetap seperti ini, tidak akan berlanjut pada lapisan-lapisan berikutnya.

Tak ada orang yang benar-benar peduli, maka mulai sekarang aku akan kembali mengiringi roda berputar lagi dan menjalani apa yang menjadi front stage-ku. Aku akan selalu berada di panggung dimana aku dituntut untuk menjadi seorang yang tersenyum, humoris, suka tertawa, tidak bisa diam, dan lain sebagainya. Aku jamin tidak akan ada yang tau back stage ku, karena back stage-ku milikku sendiri, sekalipun kamu sudah mengupas lapisan - lapisanku secara perlahan, kamu tidak akan mengetahui lapisan terdalamku. Jadi, lakukan saja apa yang jadi front stage mu yang berpura-pura sedih melihatku sedih, yang berpura-pura turut bahagia ketika aku bahagia, yang berpura-pura memberikan solusi padahal tak peduli, yaaa yang begitulah kira-kira. Aku sudah mengerti. Kamu tak tau apa-apa, jadi jangan komentari aku dengan mengumbar komentar salahmu tentangku kepada orang lain. Diamku bukan karena ingin mereka datang padaku dan menanyakan keadaanku, diamku ini karena aku sedang lebih banyak berpikir lagi, diamku ini karena membiarkan mulutku yang biasanya cerewet harus PAUSE dulu melihat otakku yang lagi tak karuan, usai diamku-pun aku akan kembali, kembali menjadi seseorang yang berpura-pura lagi. Menjalankan front stage-ku dengan sesempurna mungkin. Tapi sabar, aku akan menjadi pengiring roda perputar yang seperti biasanya lagi nanti, tapi bertahap, karena kemarin-kemarin aku nyaris terlindas, maka aku kadang perlu diam dulu. Pedulimu bukan lagi pandangan positif dariku lagi ya. Sekarang urusi saja urusanmu itu, berbahagia pada porosmu, maka suatu saat nanti akupun akan berbahagia pada porosku. Toh saat kamu mengiringi roda ini tanpa memikirkan diamku saja kamu berbahagia kan? Jadi saat nanti aku tak lagi diam dan kembali seperti pada putaran yang benar, aku berharap, kamu tak lagi datang dan memintaku untuk mengiringi roda ini bersama ya.

Sunday, April 17, 2016

Biarkan Diamku

Diam. Mungkin aku memang tak ingin berbicara sepatah katapun. Jangan tanya kenapa. Coba rasakan, saat kamu memang butuh waktu untuk merenungkan segalanya. Ya, seperti seolah merasa sendiri ketika kamu sebenarnya berada di keramaian. Seperti merasa sepi padahal kamu bisa cari keasikan dengan yang lain. Seakan menjadi orang tersedih padahal kamu bisa mencari kebahagiaan itu sendiri. Merasa hampa ketika seolah gamparan keras menyentuh bagian tubuh paling sensitive, hati, ya, kenapa selalu hati yang disalahkan ketika perasaan asing mulai timbul. Hatipun berserah pada pikiran yang kacau. Pikiranku seperti terbagi menjadi banyak cabang yang rumit. Tubuhku seakan terbagi menjadi beberapa bagian aneh. Bagian satu menunjukkan kebahagiaan karena dikelilingi orang-orang seperti mereka. Bagian dua menunjukkan kesedihan karena bagian satu sepertinya tak sespesial bahagia dahulu. Bagian tiga menunjukkan kegelisahan karena pilihan yang rumit. Bagian empat menunjukkan kerisauan karena pilihan rumit tak kunjung menemukan jalan keluar. Bagian lima menunjukkan kebimbangan yang tiada henti karena hal rumit sepertinya akan menemukan jawaban yang sama. Bagian enam menunjukkan ketidakenakan perasaan karena seakan menjadi seorang yang bersalah pada beberapa orang yang mungkin tak mereka sadari. Bagian tujuh menunjukkan keinginan untuk lari dari semua masalah. Bagian delapan menunjukkan kemarahan karena mereka terus mengajukan pertanyaan yang sama padaku. Bagian sembilan menunjukkan kekosongan yang entah kenapa membuat diri ini lemah. Masih banyak bagian-bagian bodoh lainnya disini, tapi bagian yang kuinginkan sebenarnya adalah tempat sunyi yang luas dimana hanya ada aku disana, merasakan setiap hembusan angina yang menerpa tubuh ini, memandang langit luas dengan awan indah, memejamkan mata dengan menyusun setiap bagian yang berantakan tadi. Sepertinya benar-benar sulit menyusun acak-acakannya per bagian bodoh yang kurasakan.

Entah mengapa bagian-bagian bodoh atau kotor tersebut selalu menghantui pikiran ini dan membuat kepalaku menjadi tak muat menampung bagian jernih. Belum mulai menyusun bagian itu saja aku sudah merasa ada tambahan bagian bodoh lagi dalam diriku. Aku seakan linglung untuk menemukan bagian tubuhku yang benar. Tubuhku seperti direnggut bagian – bagian aneh yang tak ku kenali sebelumnya. Aku pernah meraba pada bagian tubuhku yang aneh ini, tapi tetap saja tak kutemukan racun mematikan yang merusak tubuh bersemangat dulu.


Gelap. Aku berada dalam tempat gelap yang jauh dari terangnya mereka. Gelapku tak dapat mereka selamatkan dengan ribuan terangnya mereka. Kosongku tak dapat mereka isi dengan bagian – bagian penting yang dulu pernah ada. Marahku tak dapat mereka redam dengan nasehat yang dulu menyejukkan. Sedihku tak dapat mereka hapus dengan banyak senyum mereka yang menghiasi ragaku dulu. Diamku tak dapat mereka lawan dengan kata yang mereka lontarkan secara terus menerus. Bimbangku tak dapat diubah menjadi pastiku oleh saran yang mereka berikan. Raguku tak dapat mereka jadikan yakinku dengan genggaman erat mereka. Aku hanya tak mengerti, aku hanya ingin sendiri sekarang, tanpa mereka, tanpa kata, tanpa candaan. Hanya diam saja. Sepertinya tubuh lamaku harus membiarkan diamku yang sekarang ini kurasakan. Tolong biarkan diamku membelenggu hingga nanti ia muak dengan sendirinya kemudian pergi dari bagian bodoh ini. Aku hanya tak tahu sampai kapan bagian ini ada disini. Entah sebentar atau lama, tapi sepertinya ini yang sekarang tak bisa ku ganggu gugat dari tubuhku. Kini, aku hanya dapat masa bodo pada bagian ini. Aku merasa cuek ini terus bertahan entah sampai kapan. Jadi, jangan tanya kenapa, jangan tanya sampai kapan, jangan tanya sudah atau belum. Karena aku rasa, jika cabang atau bagian ini sudah lelah, maka semua akan tersusun rapi seperti dahulu. 
Tunggu saja.