Diam. Mungkin aku memang tak ingin berbicara sepatah
katapun. Jangan tanya kenapa. Coba rasakan, saat kamu memang butuh waktu untuk
merenungkan segalanya. Ya, seperti seolah merasa sendiri ketika kamu sebenarnya
berada di keramaian. Seperti merasa sepi padahal kamu bisa cari keasikan dengan
yang lain. Seakan menjadi orang tersedih padahal kamu bisa mencari kebahagiaan
itu sendiri. Merasa hampa ketika seolah gamparan keras menyentuh bagian tubuh
paling sensitive, hati, ya, kenapa selalu hati yang disalahkan ketika perasaan
asing mulai timbul. Hatipun berserah pada pikiran yang kacau. Pikiranku seperti
terbagi menjadi banyak cabang yang rumit. Tubuhku seakan terbagi menjadi
beberapa bagian aneh. Bagian satu menunjukkan kebahagiaan karena dikelilingi
orang-orang seperti mereka. Bagian dua menunjukkan kesedihan karena bagian satu
sepertinya tak sespesial bahagia dahulu. Bagian tiga menunjukkan kegelisahan
karena pilihan yang rumit. Bagian empat menunjukkan kerisauan karena pilihan
rumit tak kunjung menemukan jalan keluar. Bagian lima menunjukkan kebimbangan
yang tiada henti karena hal rumit sepertinya akan menemukan jawaban yang sama. Bagian
enam menunjukkan ketidakenakan perasaan karena seakan menjadi seorang yang
bersalah pada beberapa orang yang mungkin tak mereka sadari. Bagian tujuh
menunjukkan keinginan untuk lari dari semua masalah. Bagian delapan menunjukkan
kemarahan karena mereka terus mengajukan pertanyaan yang sama padaku. Bagian sembilan
menunjukkan kekosongan yang entah kenapa membuat diri ini lemah. Masih banyak
bagian-bagian bodoh lainnya disini, tapi bagian yang kuinginkan sebenarnya
adalah tempat sunyi yang luas dimana hanya ada aku disana, merasakan setiap
hembusan angina yang menerpa tubuh ini, memandang langit luas dengan awan
indah, memejamkan mata dengan menyusun setiap bagian yang berantakan tadi. Sepertinya
benar-benar sulit menyusun acak-acakannya per bagian bodoh yang kurasakan.
Entah mengapa bagian-bagian bodoh atau kotor tersebut selalu
menghantui pikiran ini dan membuat kepalaku menjadi tak muat menampung bagian
jernih. Belum mulai menyusun bagian itu saja aku sudah merasa ada tambahan
bagian bodoh lagi dalam diriku. Aku seakan linglung untuk menemukan bagian
tubuhku yang benar. Tubuhku seperti direnggut bagian – bagian aneh yang tak ku
kenali sebelumnya. Aku pernah meraba pada bagian tubuhku yang aneh ini, tapi
tetap saja tak kutemukan racun mematikan yang merusak tubuh bersemangat dulu.
Gelap. Aku berada dalam tempat gelap yang jauh dari
terangnya mereka. Gelapku tak dapat mereka selamatkan dengan ribuan terangnya
mereka. Kosongku tak dapat mereka isi dengan bagian – bagian penting yang dulu
pernah ada. Marahku tak dapat mereka redam dengan nasehat yang dulu
menyejukkan. Sedihku tak dapat mereka hapus dengan banyak senyum mereka yang
menghiasi ragaku dulu. Diamku tak dapat mereka lawan dengan kata yang mereka
lontarkan secara terus menerus. Bimbangku tak dapat diubah menjadi pastiku oleh
saran yang mereka berikan. Raguku tak dapat mereka jadikan yakinku dengan
genggaman erat mereka. Aku hanya tak mengerti, aku hanya ingin sendiri
sekarang, tanpa mereka, tanpa kata, tanpa candaan. Hanya diam saja. Sepertinya tubuh
lamaku harus membiarkan diamku yang sekarang ini kurasakan. Tolong biarkan
diamku membelenggu hingga nanti ia muak dengan sendirinya kemudian pergi dari
bagian bodoh ini. Aku hanya tak tahu sampai kapan bagian ini ada disini. Entah sebentar
atau lama, tapi sepertinya ini yang sekarang tak bisa ku ganggu gugat dari
tubuhku. Kini, aku hanya dapat masa bodo pada bagian ini. Aku merasa cuek ini
terus bertahan entah sampai kapan. Jadi, jangan tanya kenapa, jangan tanya
sampai kapan, jangan tanya sudah atau belum. Karena aku rasa, jika cabang atau
bagian ini sudah lelah, maka semua akan tersusun rapi seperti dahulu.
Tunggu
saja.
No comments:
Post a Comment